We
are just friend
Teruntuk Zheyna,
Yang tak pernah terungkap
hadirnya..
Yang hanya bisa kusimpan
tanpa kusentuh...
Zhey,, begitu kusebut dia. Perempuanku
yang hanya bisa kusimpan dalam-dalam. Perempuanku yang tak memiliki kesempatan
untuk ku legalkan. Perempuanku, ya dan bodohnya hanya aku yang tau dialah
perempuanku. Ini rahasiaku sendiri, tanpa zhey ketahui dan tanpa terkecuali.
Meski kurasa dia akan segera mengetahuinya.
Aku
selalu ingin menjadi apapun yang ia butuhkan. Entahlah, meski aku tak perlu
untuk memilikinya. Tidak,, sebenarnya ingin kurasa, justru terlalu ingin untuk
memiliki. Hanya saja keadaan tak berpihak. Aku memilih untuk bersembunyi,
bersembunyi dari perasaanku. Semakin besar saja kebohonganku pada diriku
sendiri.
Aku yakin dia kecewa, sama besarnya
kekecewaanku pada diriku sendiri. Akupun tau dia bingung akan diriku, seperti
kebingungan yang menyergapku selama ini. Mungkin kebingungannya lebih besar.
Aku cukup sadar akan hal itu, hanya saja aku ingin sekali menutupi kesadaranku.
Mungkin memang takdirku, keberuntungan
tak menyapaku dalam hal cinta. Persetan dengan itu. Jika perlu, aku yang akan
menjemput keberuntungan itu. Keberuntungan untuk diberi kesempatan meringankan
luka hatinya. Seperti yang telah dia lakukan padaku tanpa ia sadari. Yaa, dia
lebih dari sekedar obat bagiku. Dia adalah ganja terdhasyat yang pernah
kucicipi. Dan aku seorang yang berpenyakitan yang tak pernah bisa lepas dari
obatnya, tak bisa bebas selalu terikat. Seperti para budak yang tak pernah
ingin untuk dibebaskan oleh tuannya.
Sekali lagi, aku berharap dia tak
berpikir bahwa aku seorang pengecut. Sekalipun aku memang benar-benar lelaki
pengecut. Jika saja dia tau bahwa rantai hidupku selalu diwarnai dengan ‘kebetulan’.
Kebetulan mengenalnya, kebetulan dekat dengannya, kebetulan merasakan luka
sepertinya, kebetulan dulu aku sempat mengikuti cerita tentangnya, sampai
akhirnya kebetulan untuk menyembunyikan cinta darinya. Dan semua
kebetulan-kebetulan kecil itu membawaku pada kebetulan yang tak pernah
kuinginkan. bahwa kebetulan dia adalah gadis impian yang selalu diinginkan
sahabat karibku dulu, Denias. Itulah kebetulan terburukku bahwa dia adalah
gadis pujaan yang selalu dibicarakan temanku dulu. Yang selalu di elu-elukan
Denias, yang membuat seorang Denias Atmaja bertekuk lutut.
Zheyna Tarla,
Gadis
termanis yang pernah kujumpai, gadis yang sempat menghujaniku rasa penasaran
yang teramat besar dulu sebelum mengenalnya. Penasaran tentang seperti apa
gadis yang selalu dibicarakan denias sepanjang waktu di telingaku. Dan sekarang
dia di hadapanku, sebagai seorang gadis yang selalu mengilhami hariku. Bukan
sebagai gadis pujaan denias, pujaan Tirta, pujaan Desta, ataupun pujaan lelaki
lain yang selalu disebut-sebut Denias sebagai rival’nya dulu. Toh sekarang
tanpa sengaja aku sudah menjadi salah satu rival’nya. Aku benci kenyataan ini.
Menjadi seorang pengkhianat besar, sekaligus pengecut. Tak kuasa kutelan
kepahitan ini dalam-dalam. Haruskah aku mengulangi kesalahan kedua kali yang
tak kuasa ku bebani ini?????
Aku
terkesiap merasakan jari lembut berkibar-kibar tepat di depan hidungku. Jari lentik
kepunyaan perempuanku yang selalu kukagumi. Gemuruh batinku lenyap seketika,
menyadari mata itu sedang berusaha menelanjangi wajahku. Kubuang pandanganku
kearah cincin yang mengelilingi jari kelingkingnya. “kurasa, jari-jarimu perlu
di kurusin biar cincinmu itu bisa masuk di jari manismu..”, kulempar kata
sekena’nya. Seperti biasa kusembunyikan hatiku rapat-rapat. Meski sebenarnya
tak rela. Dia tersenyum. membuatku tersihir, seolah terhapus sudah bebanku.
Huft, menyedihkan sekali aku ini. Dan aku kembali mengawasi matanya, kusadari
sinar kepunyaannya redup. Aku tau betul dia sedang berusaha menagih sebuah
pengakuan terhadapku, sorot matanya berkata demikian. Pandangannya menunduk,
bahunya merendah beberapa senti. Aku bisa merasakannya, meski aku tak bisa
melihatnya dengan jelas sebab dia duduk tepat disampingku. Apa memang harus
kulepas gadis ini, batinku menuntut sebuah jawaban.
“Bara,
akhir-akhir ini aku bingung tentangmu.. ”, lirihnya padaku. Dia berbicara
kesana kemari. Hingga sampailah dia mengaku bahwa dia paling takut berharap.
Dan celakanya tanpa disadari dia telah memelihara harapan itu terhadapku.
Harapan yang membuatku senang, sekaligus susah.
“Sudahlah,
we are just friend..bukan begitu kan bar. Tak ada yang perlu
dibingungkan.Hmmmm,, aku saja yang aneh” , kata-katanya seakan memaksa batinku
meronta. Bukan itu yang kuinginkan Zhey, seandainya kau tau. Memang kuputuskan
untuk menjadi sahabatmu, itu adalah langkah terbodohku yang kulakukan juga.
“pliss,, jangan menjauh dariku Zhey,,”,
lirihku. Aku tak berharap dia mendengarku. Tapi nyatanya dia menjawab, “tentu
saja, aku tak kan menjauhi sahabatku sendiri”
Aku merasa ditertawakan oleh cicak yang
sedari tadi mengawasi kami. Betapa munafiknya aku. Dan kuberanikan diri untuk
membuat sebuah pengakuan. Pengakuan yang memang ingin dia dengar, pengakuan
yang mampu menjawab semua kebingungannya. Pengakuan yang kuharap bukan sebagai
akhir dari keberuntungan. Pengakuan mengenaiku, mengenai dia, mengenai segala
sesak di dada ini.
Kuatur nafasku sedemikian rupa. Dan ku
ungkapkan semua yang ingin dia dengar. Semuanya, tanpa tersisa. Tentang
bagaimana aku
menyayanginya, bukan sebagai sahabat. Tapi layaknya kasih sayang Rama ke Sinta.
Dan juga tentang bagaimana kebohonganku untuk meminta dia menjadi sahabatku,
bukan memintanya menjadi seorang Laila’ bagi seorang Majnun seperti yang
sesungguhnya kuinginkan. Nama Denias pun terlontar dari perbincangan kami.
Salah satu alasan bebanku selama ini.
Aku tak akan sanggup dituduh menjadi seorang
pengkhianat lagi. Untuk yang kedua kali. Karena begitulah dulu ketika aku
menjalin hubungan dengan Mala, mantanku. Gadis yang menjadi pacarku dulu itu,
tak lain adalah gadis yang dicintai temanku. Putra. Mala lebih memilihku, dan
yang menyakitkan dari itu aku disebut telah menusuk dari belakang temanku
sendiri. Yaitu Putra. Kupikir semuanya akan baik-baik saja jika kuhadapi bersama semuanya dengan Mala. Tapi nyatanya,
hubunganku tak bertahan lama. Mala lebih memilih untuk meninggalkanku, dengan
beberapa alasan yang semuanya membuatku terluka. Ya tentu saja, semua karena
segala kekuranganku. Yang disebut-sebut Mala ke teman-temannya. Dan penyesalan
terbesarku adalah, aku telah mengambil keputusan yang salah dulu ketika meminta
Mala menjadi kekasihku. Yang bersamaan itu pula aku merusak hubunganku dengan
Putra, temanku. Dia merasa aku berkhianat, meski sesungguhnya bukan itu yang
terjadi. Paling tidak
itu pembelaan diri untuk diriku sendiri.
“Kurasa, kau bisa menyimpulkan sendiri
Zhey dari ceritaku tadi..” kuakhiri penjelasanku.
“Aku hanya tak ingin merasa menjadi
musuh dalam selimut, pagar makan tanaman, teman makan teman, atau apalah
sebutan jelek lainnya yang mereka lemparkan padaku dulu, aku takut kesalahan
menghampiriku untuk kedua kali jika aku bersamamu..”,sambungku. Tentu saja
kesalahan untuk dibenci yang kedua kalinya oleh temanku sendiri. Aku yakin
Denias akan mencercaku. Dan alasan lainnya, aku tak cukup yakin mampu
membimbingmu menuju bahagia. Aku terlalu takut mengecewakanmu, seperti
kegagalan yang kubina dengan Mala. Ketakutan terlalu menguasaiku.
Aku tau dia mengerti yang kumaksud. Sungguh
seketika itu ketakutan yang lebih besar menjalar di sendi-sendi tulangku.
Membuatku merasa linu. Aku takut Zhey menghilang dari hadapanku. Aku takut tak
bisa melihat senyum termanisnya itu. Aku takut dia menjauhiku. Aku takut
sikapnya berubah terhadapku. Dan yang paling aku takutkan adalah aku kehilangan
dia. Kehilangan kesempatan untuk bisa menjadi orang terpentingnya. Meski itulah
yang harus kuhadapi sekarang. Zhey menghela nafas panjang, aku tau dia sedang
mengatur kata. Dan aku menunggu kata apapun itu muncul dari balik bibir mungilnya.
Apapun itu, Aku ingin mendengarnya. Dia tersenyum simpul, andai dia tau betapa
senyum itu mampu menenangkanku.
“kau tau, aku cukup lega mendengar
pengakuanmu. Itu yang selama ini ingin kudengar. Tentang kepastian meski yang
kau utarakan bukanlah sebuah kepastian yang sebenarnya, setidaknya pertanyaan
yang berlomba di otakku selama ini sudah mempunyai jawaban. Terimakasih......”,
kata-katanya terhenti,
“untuk,,,,????” kusela jeda panjang
yang cukup lama itu, mungkin memang dia ingin mendengarku berkata demikian
kukira.
“untuk kejujuranmu, untuk pengakuanmu,
untuk rasa sayangmu yang kau pelihara untukku, dan untuk hubungan kita selama
ini, serta untuk persahabatan yang sudah kau pilih tentunya dan yang akan tetap
kita bina kan....” dia menggodaku dengan senyumnya lagi. Aku bisa bernafas
lega. “kumohon jangan menjauh dariku....” kuulang kalimat itu lirih, datar
mengikuti arus udara yang sedang bernyanyi mengelilingiku.
“Aku mencintaimu Zheyna Tarla,,” ucapku
dalam hati.
***************************************************
Kibaran-kibaran kertas di tanganku menghentikan otakku yang sedari tadi bersikeras mengingat
puing-puing rangkaian kejadian 3 tahun yang lalu. Seketika tanganku bergetar
membuka lipatan kertas yang beberapa menit tadi kuterima dari pemilik rumah
yang kudatangi. Pemilik rumah itu tidak lain adalah adik Zhey. Sengaja aku
memilih membukanya ditempat ini, di istana baru kepunyaan Zhey. Kulihat
sekelilingku, berharap Zhey menyambutku dengan senyum termanisnya. Ingin sekali
kujelaskan bahwa aku tidak pernah sedikitpun menepisnya dari ingatanku selama
ini. Percuma saja, aku tak menemukan apa-apa.
Untuk Bara Radhika,,
^.^ yang selalu dikelilingi cinta,
Yang memilih bersembunyi disela-sela bebannya..
yang
memilihku sebagai obat untuknya,
terimakasih,
aku menyukai bisa
menjadi obat untukmu,
itu adalah
hal terindah...............
Hai,
kau tak perlu menyalahkan dirimu. Kau tau dalam hal ini akulah yang paling
merasa berdosa. Membuatmu susah, terbebani ketakutan yang menimpa untuk
mengulangi kesalahan yang kedua kalinya, seperti yang kau bilang.
Aku bisa apa, sekali lagi aku hanya
seorang perempuan biasa yang hanya mampu menunggu. Aku bangga akan keputusanmu,
dan kau tau hal itu justru tak membuatku menyesal telah menyimpan harap padamu
belakangan hari itu.
Berharap kaulah orangnya,
Yang mampu
meringankan luka hatiku,
Dan meminjamkan bahu untukku
Dan menyeka air mataku
Dan mengisi sela-sela ruang jariku,
Ya, aku membuat pengakuan ini, bahwa
diam-diam aku berharap kaulah orang itu. Meski aku sadar pengakuan ini tak akan
merubah apapun.
Tau bahwa kau menyayangiku, itu sudah
cukup bagiku. Hati ini ingin menjerit, ketika kau seakan tak peduli tentang apa
yang kurasakan. Bahkan akupun tidak diberi kesempatan untuk memilihmu.
Kau dan aku sama saja, memilih untuk
bersembunyi dari diri sendiri. Sama- sama seorang penakut yang menyedihkan.
Tidak, mungkin aku yang lebih menyedihkan. Aku tak punya cukup keberanian untuk
melawan takdir.
Aku ingin bersamamu, jika kau ingin
tau.
Aku ingin bahu’mu lah tempat peminjaman
terbaik itu yang selalu kuharapkan.
Aku ingin jari’mulah yang akan menyeka
air mataku.
Aku menyayangimu, Bara Radhika.
Semoga harimu selalu terbingkai senyum,
Terimakasih telah menjadi pendengar
setiaku selama ini...
Terimakasih telah menyayangiku...
Zheyna Tarla,
###
Aku
tak kuasa menahan air mataku membaca sepenggal tulisannya. Coretan perempuanku,
Zheyna Tarla. Ungkapan isi hatinya yang selalu ingin kutau, namun tak pernah ia
ungkapkan. Ia lebih pandai dariku untuk menyimpan semuanya. Tiga tahun dia
menyembunyikan semua perasaannya. Dan kini saat aku mencarinya di kota ini,
saat aku menemukan keberanian untuk menjemput bahagia bersamanya. Dia
benar-benar menghilang, seperti ketakutanku selama ini. Dia tak menepati
janjinya untuk tak menjauh dariku. Kertas mungil peninggalan terakhirnya basah
oleh air mataku. Aku terlambat menjemputnya. Aku memang pengecut besar, aku
pecundang yang telah membuang kesempatan untuk bisa selalu disampingnya. Dan
aku hanya bisa mengakui semua itu di depan batu nisannya.
Zheyna Tarla
Binti
Fredi A
Meninggal tgl 1 juni 2010.
By,